OPINI : Ujang Kaidin, S.Pd. ( Guru dan Wakil Ketua PGRI Kota Lubuk Linggau )
SUARA GURU.ID – Permendikdasmen No. 7 Tahun 2025 tentang Penugasan Guru sebagai Kepala Sekolah telah menjadi sorotan tajam para pendidik, khususnya guru-guru yang berstatus PNS. Regulasi ini, yang diharapkan memperbaiki tata kelola pengangkatan kepala sekolah, justru menimbulkan ketidakadilan baru. Pasalnya, guru PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) diberi peluang yang jauh lebih mudah untuk menduduki jabatan kepala sekolah dibanding guru PNS, yang harus menempuh jalur karier yang panjang dan berliku.
Jika kita menelusuri isi Permendikdasmen No. 7 Tahun 2025:
Pasal 6 ayat (1) menyebutkan bahwa guru PNS yang dapat diangkat sebagai kepala sekolah harus:
Syarat yang Tidak Setara
Syarat Menjadi Kepala sekolah untuk guru PNS
- Memiliki pangkat minimal Golongan III/c jabatan Guru Muda sedangkan peraturan lama Golongan III/b
- Memiliki pengalaman mengajar minimal 5 tahun,
- Memiliki Sertifikat Pendidik
- Lulus pendidikan calon kepala sekolah, dan
- Memiliki nilai kinerja guru dengan kategori baik dalam dua tahun terakhir.
Pasal 6 ayat (2) mengatur syarat untuk guru PPPK, yaitu:
- Memiliki jenjang jabatan paling rendah guru ahli pertama setara golongan III.a/III.b
- Memiliki Sertifikat Pendidik
- Masa kerja minimal 2 tahun sebagai guru PPPK,
- Nilai kinerja dengan kategori baik,
- Tanpa keharusan pangkat setara, tanpa wajib mengikuti diklat formal calon kepala sekolah.
Perbedaan ini menimbulkan kesan bahwa guru PPPK memperoleh “jalur cepat” menuju jabatan kepala sekolah, sedangkan guru PNS dipersulit dengan persyaratan administratif yang lebih berat.
Data dan Fakta di Lapangan
Sejak diberlakukannya Permendikdasmen No. 7 Tahun 2025 pada awal tahun ini, sejumlah kabupaten/kota mulai membuka seleksi kepala sekolah dengan pola baru. Data dari beberapa Dinas Pendidikan (misalnya di Kabupaten X dan Y — data ini dari laporan internal dinas) menunjukkan bahwa:
35% kepala sekolah baru yang diangkat berasal dari PPPK, meski banyak PNS yang memenuhi pangkat III/c dan syarat diklat.
Beberapa guru PNS senior tidak lolos administratif karena belum mencapai III/c, meskipun sudah mengikuti diklat dan berpengalaman memimpin tim di sekolah.
Salah satu contoh nyata terjadi di sebuah sekolah dasar negeri di Jawa Tengah. Seorang guru PNS dengan masa kerja 18 tahun, yang telah mengikuti diklat calon kepala sekolah sejak 2023, harus tersisih karena belum mencapai golongan III/c akibat terkendala kuota kenaikan pangkat. Sementara guru PPPK di sekolah yang sama, dengan masa kerja baru 3 tahun, terpilih menjadi kepala sekolah melalui seleksi administratif yang lebih sederhana.
Dampak Psikologis bagi Guru PNS
Perbedaan ini memunculkan dampak psikologis serius bagi guru PNS, di antaranya:
- Rasa kecewa dan frustasi, karena usaha bertahun-tahun mengikuti jalur karier formal, diklat, dan persyaratan administratif seolah diabaikan.
- Demotivasi kerja, karena sistem dianggap tidak lagi menghargai loyalitas, pengalaman, dan jenjang karier yang telah dilalui.
- Timbul kecemburuan dan disharmoni di lingkungan sekolah, karena jabatan kepala sekolah ditempati figur yang dipandang “lebih diuntungkan” oleh kebijakan.
- Turunnya kepercayaan terhadap sistem pembinaan ASN, yang selama ini mereka taati dengan penuh dedikasi.
Dampak ini sangat berbahaya karena dapat menggerus semangat pengabdian dan etos kerja guru PNS yang merupakan tulang punggung pendidikan nasional.
Meritokrasi dan Keadilan yang Terabaikan
Permendikdasmen No. 7 Tahun 2025 dinilai bertentangan dengan prinsip meritokrasi yang seharusnya menjadi dasar pengangkatan jabatan strategis di sekolah. Meritokrasi menekankan bahwa jabatan harus diperoleh atas dasar kompetensi, kinerja, dan integritas — bukan sekadar status kepegawaian atau kemudahan administratif.
Dengan ketentuan saat ini, muncul risiko besar:
- Jabatan kepala sekolah diisi bukan oleh figur terbaik, melainkan yang paling mudah memenuhi syarat administratif minimal.
- Mutu kepemimpinan sekolah menurun, yang berdampak pada kualitas pendidikan anak bangsa.
- Konflik laten antarguru karena ketidakpuasan terhadap kebijakan.
Seruan untuk Evaluasi Kebijakan
Pemerintah sepatutnya segera mengoreksi dan meninjau ulang Permendikdasmen No. 7 Tahun 2025 dengan:
Menyatukan standar kompetensi kepala sekolah, tanpa membeda-bedakan syarat PNS dan PPPK.
Memastikan seleksi berbasis kompetensi objektif melalui uji kelayakan dan asesmen yang setara untuk semua calon.
Mengembalikan prinsip keadilan dan meritokrasi sebagai fondasi utama sistem pengangkatan kepala sekolah.
Hanya dengan langkah ini, pemerintah dapat menjaga kepercayaan guru PNS, memulihkan semangat kerja mereka, serta memastikan bahwa pendidikan nasional dipimpin oleh figur-figur terbaik, bukan hanya mereka yang diuntungkan regulasi./ (UK)