OPINI, SUARAGURU.ID – Dalam era digital saat ini, media online tumbuh menjadi garda terdepan arus informasi publik. Namun, derasnya aliran berita seringkali bersinggungan dengan kepentingan pihak tertentu, terutama jika konten yang dipublikasikan dianggap merugikan nama baik, reputasi, atau kepentingan hukum seseorang. Di titik inilah, mekanisme somasi terhadap wartawan media online kerap digunakan sebagai instrumen hukum.
Mengamati beberapa hari ini ada somasi yang dilayangkan oleh Law Office BRM & Partners terhadap wartawan media online lubuklinggauterkini.com, Angga Juli Nastionsyah, terkait pemberitaan mengenai kegiatan belanja di Dinas Sosial Kabupaten Musi Rawas Tahun Anggaran 2024.
Secara prinsip, somasi merupakan bentuk teguran tertulis yang dilayangkan oleh pihak yang merasa dirugikan kepada pihak lain, sebelum melangkah ke ranah hukum. Dalam konteks media online, somasi biasanya ditujukan kepada wartawan, redaksi, maupun perusahaan pers, sebagai peringatan atas pemberitaan yang dinilai tidak akurat, tidak berimbang, atau melanggar kode etik jurnalistik.
Namun perlu dipahami, wartawan yang bekerja di media online tidak bisa serta-merta diperlakukan sama dengan pelaku ujaran di media sosial. Mereka dilindungi oleh Undang-Undang Pers No. 40 Tahun 1999, yang menegaskan bahwa sengketa pemberitaan harus diselesaikan melalui mekanisme hak jawab, hak koreksi, dan Dewan Pers, bukan langsung dengan ancaman pidana. Dengan kata lain, somasi kepada wartawan sebaiknya bukan langkah untuk menakut-nakuti, melainkan jalan membuka ruang dialog.
Problemnya, banyak somasi kepada wartawan media online justru menjelma sebagai bentuk tekanan. Alih-alih menuntut klarifikasi atau perbaikan berita, somasi sering dipakai untuk membungkam kritik atau menekan independensi pers. Kondisi ini berbahaya, karena mengaburkan batas antara mekanisme hukum dan bentuk intimidasi.
Idealnya, mekanisme somasi berjalan melalui tiga tahap:
1. Somasi tahap pertama berisi klarifikasi dan permintaan perbaikan berita.
2. Somasi tahap kedua jika permintaan tidak diindahkan, dengan batas waktu tertentu.
3. Langkah hukum ke Dewan Pers, bukan langsung ke ranah pidana, untuk menjaga prinsip kemerdekaan pers.
Opini saya, perlu ada kesadaran dari semua pihak: wartawan wajib berpegang pada kode etik jurnalistik dalam mencari dan menulis berita, sementara pihak yang merasa dirugikan juga harus menghormati jalur penyelesaian yang diatur undang-undang. Tanpa itu, somasi hanya akan menjadi senjata membungkam, bukan mekanisme penyelesaian yang sehat.
Dengan demikian, mekanisme somasi terhadap wartawan media online sebaiknya diposisikan sebagai alat koreksi konstruktif, bukan alat represi. Pers yang sehat membutuhkan kritik, tapi juga harus diberi ruang untuk bekerja bebas dari ancaman kriminalisasi. (*)