Mengapa Siswa Perlu Belajar Koding dan Kecerdasan Artifisial sejak Dini?

Sekolahku75 Dilihat

JAKARTA, SUARAGURU.ID-Belajar koding dan kecerdasan artifisial sejak dini bukan sekadar mengajarkan anak-anak menekan tombol-tombol di komputer, melainkan membuka peluang besar bagi mereka untuk mengembangkan kemampuan berpikir komputasional, kreativitas, pemecahan masalah, serta kesiapan menghadapi masa depan yang semakin terdigitalisasi. Penelitian menunjukkan bahwa melalui aktivitas bermain yang terarah, seperti penggunaan robot-anak, koding berbasis blok, atau aplikasi interaktif, anak usia prasekolah mampu mengembangkan konsep dasar pemrograman dan berpikir logis secara signifikan, meskipun belum mampu mengartikulasikannya secara verbal (Shi & Hill, 2025). Dalam studi tersebut, guru mengamati bahwa anak-anak usia 3–5 tahun menggunakan strategi seperti visualisasi fisik, verbaliasi, dan eksplorasi jalur berbeda untuk mengarahkan robot, serta mengembangkan hubungan positif dengan teman sebaya dan dunia robotika.
ebih lanjut, melalui aktivitas guided play, anak-anak prasekolah juga dapat menumbuhkan kemampuan berpikir komputasional seperti kolaborasi, berpikir logis, dan debugging, sebuah pendekatan penting dalam pengembangan keterampilan sains dan teknologi di pendidikan usia dini (Critten, Hagon & Messer, 2022). Dalam konteks pembelajaran di sekolah dasar, pengenalan koding lewat media seperti Scratch atau robot edukatif turut membangun keterampilan penting. Misalnya, penggunaan Scratch Jr memungkinkan anak-anak belajar berpikir komputasional, membagi masalah menjadi langkah-langkah kecil dan menyusunnya menjadi solusi, yang dikenal sebagai kemampuan berpikir algoritmik (Papadakis sesuai dikutip dalam Tirto, 2024). Selain itu, aktivitas berbasis koding membantu perkembangan sosial dan emosional. Studi review oleh Fuentes-Martinez, Ekström, dan Humble menyebutkan bahwa pengalaman coding sering melibatkan kerja kelompok, diskusi, dan kolaborasi kreatif, sehingga anak-anak belajar bersosialisasi, berkomunikasi, dan memahami bahwa kegagalan (bug) adalah bagian dari proses pembelajaran (Fuentes-Martinez et al., dalam Tirto, 2024).

Kemampuan kognitif seperti pemecahan masalah dan kontrol eksekutif juga terbukti meningkat. Arfé (2019) menemukan bahwa anak-anak yang terpapar pembelajaran koding memiliki peningkatan signifikan dalam kemampuan merencanakan dan menghambat respons impulsif—fungsi eksekutif otak yang krusial dalam pengambilan keputusan. Studi lebih lanjut menunjukkan bahwa kegiatan koding yang diintegrasikan dalam kurikulum dasar meningkatkan kreativitas, kemampuan logika, dan soft skills seperti ketekunan, sistematis, serta keberanian mencoba (Unpad, 2023). Seiring berkembangnya teknologi kecerdasan artifisial, belajar koding sejak dini mendapatkan dimensi baru. Menurut Stefania Druga, ilmuwan riset dari Google DeepMind, pendidikan harus berubah agar tidak hanya mengajarkan koding untuk kesiapan kerja, tetapi juga mempersiapkan anak menjadi kreator teknologi dengan keterampilan adaptasi tinggi. Ia mengembangkan platform bernama Cognimates, yang memungkinkan anak bereksperimen dengan kecerdasan artifisial melalui pembuatan permainan, pemrograman robot, serta pelatihan model, sehingga literasi kecerdasan artifisial dapat ditanam sejak dini (Druga, 2025). Pendekatan ini menekankan bahwa pendidikan koding bukan sekadar menghasilkan programmer, tetapi menumbuhkan kemampuan berpikir kritis, inovasi, serta kemandirian dalam proyek, keterampilan yang tahan terhadap dinamika teknologi masa depan (Druga, 2025). Baca Juga: 6 Karakter Anak Kreatif dan Cara Orang Tua Menumbuhkannya Tanpa Tekanan   Dari sisi pedagogi, Maria Umaschi Bers, penyusun Scratch Jr dan paket robot KIBO, mengusulkan bahwa koding adalah playground, bukan sekadar cara menyelesaikan masalah teknis. Ia menekankan bahwa melalui koding anak belajar kreativitas, kolaborasi, kepekaan terhadap orang lain, dan rasa ingin tahu, menjadikan koding sarana ekspresi diri (Bers, sebagaimana dikutip dalam Boston College Magazine, 2023). Selain melalui media digital, pengajaran koding yang efektif juga bisa dilakukan secara unplugged, yaitu tanpa perangkat digital, atau lewat robot sederhana seperti Ozobot, yang membantu transisi dari aktivitas fisik ke koding visual di layar (Körber dkk., 2020). Pendekatan ini memudahkan guru dan anak untuk mulai belajar dasar logika pemrograman secara tangible dan menyenangkan, sekaligus mengembangkan pemikiran algoritmik di kelas rendah. Melalui pendekatan seperti ini, anak-anak belajar menyusun langkah (algoritma), menjalankan, mengevaluasi hasil, dan memperbaiki kesalahan, sebuah siklus berpikir saintifik yang menjadi inti pembelajaran sains sejak usia dini. Secara keseluruhan, belajar koding dan kecerdasan artifisial sejak dini menyumbangkan berbagai manfaat sains nyata, yaitu berpikir komputasional, logika, pemecahan masalah, kreativitas, kemampuan metakognitif (seperti debugging), kontrol eksekutif, serta kolaborasi emosional dan sosial. Dari sisi pendidikan, pendekatan bermain terarah dan penggunaan media yang sesuai usia membuat siswa mudah memahami konsep teknis yang kompleks secara intuitif dan menyenangkan.

Dengan demikian, belajar koding dan kecerdasan buatan sejak dini bukan hanya tentang mempersiapkan anak-anak agar mahir menggunakan teknologi, tetapi juga membentuk cara berpikir yang lebih logis, kreatif, kritis, dan sistematis. Melalui koding, anak belajar bagaimana memecah masalah, merancang solusi, serta berani mencoba dan memperbaiki kesalahan. Lebih dari itu, pengalaman belajar koding juga mengajarkan kerja sama, komunikasi, dan ketekunan yang bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari. Seiring perkembangan pesat kecerdasan buatan, anak-anak perlu dibekali literasi digital yang kuat agar tidak sekadar menjadi pengguna teknologi, melainkan juga kreator yang mampu berinovasi. Pendidikan koding yang dimulai dari usia dini akan menjadi fondasi penting bagi generasi masa depan untuk menghadapi dunia yang semakin terdigitalisasi. Investasi ini bukan hanya soal keterampilan teknis, melainkan tentang membentuk generasi Indonesia yang adaptif, cerdas, dan siap bersaing di era global.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *