Rendahnya Minat Siswa pada Matematika dan Usulan Presiden Prabowo Mengenalkannya Sejak TK

OPINI : Jhoni Irwandi, S.Pd.

Opini719 Dilihat

OPINI, SUARAGURU.ID – Usulan Presiden Prabowo Subianto agar pelajaran matematika mulai dikenalkan sejak taman kanak-kanak (TK) memunculkan diskusi hangat di kalangan pendidik, orang tua, dan pemerhati pendidikan. Di satu sisi, gagasan ini dianggap sebagai langkah maju untuk memperkuat fondasi logika dan berpikir kritis anak sejak usia dini. Di sisi lain, ada kekhawatiran bahwa kebijakan ini akan menambah beban belajar dan berpotensi mempercepat lahirnya rasa takut anak terhadap matematika jika tidak diterapkan dengan tepat.

Konteks yang melatarbelakangi usulan ini jelas: minat siswa Indonesia terhadap matematika selama ini tergolong rendah. Berdasarkan berbagai survei pendidikan, banyak siswa yang sejak SD bahkan hingga SMA menganggap matematika sebagai pelajaran yang sulit, membosankan, dan menakutkan. Hasil asesmen internasional seperti PISA (Programme for International Student Assessment) pun menunjukkan bahwa kemampuan numerasi siswa Indonesia masih berada di bawah rata-rata negara maju. Kondisi ini menunjukkan adanya persoalan mendasar, bukan hanya dalam kemampuan, tetapi juga dalam motivasi dan persepsi siswa terhadap matematika.

Mengapa minat siswa rendah?

Pertama, metode pembelajaran matematika di sekolah sering kali terlalu fokus pada hafalan rumus dan prosedur hitung tanpa cukup menekankan pemahaman konsep. Anak lebih sering diberi “jawaban jadi” daripada dilatih berpikir menemukan jawaban. Kedua, pembelajaran jarang mengaitkan matematika dengan kehidupan sehari-hari. Padahal, matematika sesungguhnya hadir di mana-mana — mulai dari mengukur bahan masakan, menghitung uang jajan, hingga memahami pola dalam alam. Ketiga, stigma bahwa matematika hanya untuk “anak pintar” membuat sebagian besar siswa merasa minder dan cepat menyerah. Tidak sedikit yang menganggap kegagalan di matematika adalah kegagalan permanen, bukan tantangan yang bisa diatasi.

Apakah pengenalan sejak TK solusi?

Secara teori, mengenalkan matematika di usia dini memiliki banyak manfaat. Anak usia 4–6 tahun berada dalam fase perkembangan otak yang sangat pesat. Pada tahap ini, kemampuan kognitif, logika, dan pengenalan pola dapat distimulasi dengan optimal. Di banyak negara maju, konsep numerasi memang sudah diperkenalkan sejak prasekolah, namun dilakukan dengan pendekatan bermain, bercerita, dan bereksperimen. Misalnya, anak dikenalkan konsep angka melalui permainan balok, menyusun puzzle bentuk, atau menghitung langkah saat bermain.

Namun, di sinilah tantangannya. Jika kebijakan ini diimplementasikan dengan pola yang sama seperti di jenjang sekolah formal — penuh lembar kerja, evaluasi kaku, dan tuntutan capaian akademik — maka kita justru akan mempercepat munculnya rasa takut anak terhadap matematika. Anak usia dini belajar paling efektif ketika mereka tidak merasa sedang “belajar” dalam arti akademis, melainkan bermain sambil bereksplorasi.

Persiapan yang dibutuhkan

Agar kebijakan ini berhasil, ada beberapa hal penting yang harus dipersiapkan:

1. Pelatihan Guru PAUD/TK – Tidak semua guru memiliki latar belakang pendidikan matematika atau pengetahuan tentang cara mengenalkan konsep numerasi secara menyenangkan. Pelatihan intensif dan berkelanjutan sangat diperlukan.

2. Kurikulum yang Tepat – Pengenalan matematika di TK harus berbasis permainan, kreativitas, dan eksplorasi. Target pembelajaran bukanlah kemampuan menghitung cepat atau menghafal rumus, tetapi menumbuhkan rasa ingin tahu, logika, dan keterampilan memecahkan masalah sederhana.

3. Keterlibatan Orang Tua – Orang tua perlu memahami bahwa matematika bisa dikenalkan di rumah melalui aktivitas sehari-hari, seperti memasak, berbelanja, atau bermain papan angka.

4. Penghapusan Stigma – Anak harus diberi pemahaman bahwa matematika bukan ujian yang harus ditakuti, melainkan alat untuk memahami dunia. Kesalahan bukanlah kegagalan, melainkan bagian dari proses belajar.

Kesimpulan

Usulan Presiden Prabowo untuk mengenalkan matematika sejak TK bisa menjadi peluang emas bagi pendidikan Indonesia. Jika dilakukan dengan pendekatan yang tepat, kebijakan ini dapat membentuk generasi yang tidak hanya lebih terampil berhitung, tetapi juga lebih kritis, kreatif, dan percaya diri. Namun, jika pendekatannya salah, kebijakan ini berisiko besar memperparah masalah yang sudah ada melahirkan generasi yang lebih cepat takut pada matematika, bahkan sebelum mereka benar-benar memahaminya.

Matematika adalah bahasa logika yang akan selalu dibutuhkan dalam kehidupan. Tantangannya bukan hanya “mengajarkan” lebih awal, tetapi memastikan anak mencintai matematika sejak awal. (JI)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *