LUBUKLINGGAU, SUARAGURU.ID – Hari Batik Nasional setiap 2 Oktober adalah momentum refleksi bagi setiap daerah di Indonesia, termasuk Kota Lubuk Linggau. Kota ini sudah melahirkan identitas kultural lewat Batik Durian, sebuah motif yang terinspirasi dari raja buah khas yang melekat dalam keseharian masyarakat. Namun, pertanyaan penting muncul: setelah durian, motif apalagi yang bisa menjadi ciri khas batik Lubuk Linggau?
Lubuk Linggau bukan sekadar kota persinggahan, ia memiliki kekayaan alam dan budaya yang bisa dituangkan dalam goresan batik. Alpukat Linggau yang dikenal unggul, misalnya, dapat menjadi motif baru yang segar dan berbeda. Bentuk buahnya yang unik dengan gradasi hijau-kuning bisa dikembangkan sebagai pola batik modern yang menarik generasi muda.
Selain itu, Bukit Sulap sebagai ikon wisata yang menyimpan panorama menakjubkan layak dituangkan dalam motif batik. Siluet bukit yang gagah, dipadukan dengan ornamen flora-fauna sekitarnya, dapat menghadirkan batik yang tak hanya indah secara visual, tetapi juga mengangkat kebanggaan lokal.
Sungai Kelingi pun tidak kalah potensial. Aliran sungainya yang membelah kota bisa dijadikan inspirasi motif bergelombang, menggambarkan dinamika kehidupan masyarakat Linggau yang penuh semangat dan tak pernah berhenti bergerak. Motif air selalu filosofis melambangkan kesejukan, keberlanjutan, dan sumber kehidupan.
Bahkan, Lubuk Linggau memiliki kekayaan lain yang bisa diangkat: flora langka, kuliner khas, hingga tradisi masyarakat. Semua ini dapat dipadukan untuk menciptakan ragam motif batik yang tidak hanya memperkaya khazanah nasional, tetapi juga memperkuat identitas kota di mata dunia.
Batik sejatinya bukan sekadar kain; ia adalah bahasa budaya. Setiap motif adalah cerita, setiap garis adalah narasi tentang jati diri. Oleh karena itu, pengembangan motif batik Lubuk Linggau seharusnya tidak berhenti pada durian. Generasi muda, desainer, dan pengrajin perlu berkolaborasi menemukan simbol-simbol baru yang merepresentasikan kota ini.
Di era digital, promosi batik tidak lagi sebatas pasar lokal. Motif-motif baru bisa diperkenalkan melalui platform media sosial, e-commerce, hingga pameran virtual. Dengan begitu, batik Lubuk Linggau bukan hanya dikenal di Sumatera Selatan, tetapi juga berpeluang menjadi bagian dari tren fesyen global.
Hari Batik Nasional hendaknya kita maknai bukan sekadar mengenakan batik, melainkan merawat tradisi sambil terus berinovasi. Batik Lubuk Linggau harus tumbuh dari kearifan lokal, tetapi berani bersaing di panggung nasional bahkan internasional.
Setelah durian, mari bertanya lagi: motif apalagi yang bisa kita lahirkan? Jawabannya ada di sekitar kita di buah alpukat, di tegaknya Bukit Sulap, di alirannya Sungai Kelingi, dan di kehidupan masyarakat yang kaya cerita. Tinggal bagaimana kita berani menuangkannya ke dalam goresan batik yang penuh makna. (*)