Belajar dari Viralnya “Menu MBG” di Lubuk Linggau

Opini362 Dilihat

OPINI, SUARAGURU.ID – Viralnya sebuah video dari seorang ibu di Kota Lubuk Linggau pada Selasa, 9 Desember 2025, tentang Menu (MBG) anaknya, kembali mengingatkan kita bahwa persoalan publik seringkali hadir lewat cerita-cerita kecil yang tampak sederhana. Dalam video itu, sang ibu menunjukkan isi menu yang dibawa pulang anaknya, tekwan, enam butir kacang tanah, dan satu buah pisang, serta menyampaikan rasa kecewa dan kesal. Unggahan tersebut cepat menyebar, memantik ribuan komentar, pro-kontra, dan perdebatan di media sosial.

Dalam arus percakapan yang mengalir begitu deras, kita sering lupa bahwa di balik setiap peristiwa viral, ada manusia, ada niat baik, ada kelelahan, dan ada keterbatasan. Semua pihak memiliki perspektif, dan setiap perspektif punya alasannya sendiri. Karena itu, melihat kasus ini dengan hati yang jernih jauh lebih penting daripada sekadar memilih kubu.

1. Suara Ibu: Ekspresi dari Kekhawatiran Orang Tua

Rasa kecewa seorang ibu terhadap asupan gizi anaknya adalah hal yang wajar dan manusiawi. Orang tua ingin memastikan bahwa makanan yang diterima anaknya cukup, layak, dan sesuai program. Ketika harapan tidak selaras dengan kenyataan, ekspresi kekecewaan muncul sebagai bentuk kepedulian. Video itu bukan sekadar keluhan, melainkan cerminan kegelisahan seorang orang tua yang ingin yang terbaik untuk anaknya.

Namun, ekspresi di ruang publik sering kali menghadirkan konsekuensi yang lebih luas. Apa yang bagi seorang ibu hanyalah unek-unek pribadi, di dunia maya berubah menjadi percakapan massal yang tidak sepenuhnya bisa dikendalikan.

2. Suara Penyelenggara: Upaya, Tantangan, dan Keterbatasan

Di sisi lain, penyelenggara program MBG tentu memiliki tujuan baik, memberikan makanan sehat dan layak kepada peserta didik. Namun, pelaksanaan program publik selalu memiliki tantangan: anggaran, distribusi, keterbatasan logistik, dan kondisi lapangan yang sering kali tidak ideal.

Mungkin ada hari-hari ketika menu tersusun dengan baik dan variatif, tetapi ada pula situasi ketika penyediaan makanan tidak berjalan sempurna. Kesalahan atau kekurangan bukan berarti tidak ada kerja keras di belakangnya. Para petugas, guru, dan pihak sekolah juga adalah manusia yang berusaha memberikan yang terbaik dengan sumber daya yang tersedia.

3. Netizen dan Kecepatan Menyimpulkan

Ketika sebuah video viral, publik sering mudah menarik simpulan cepat kadang tanpa konteks, kadang tanpa data lengkap, kadang berdasarkan emosi sesaat. Ada yang membela sang ibu, ada yang mengkritiknya, ada pula yang menyerang penyelenggara.

Sayangnya, komentar-komentar yang berlebihan, sinis, bahkan menyudutkan, sering kali tidak membantu menyelesaikan masalah. Justru bisa melukai pihak yang terlibat, termasuk anak yang namanya tak sengaja terseret dalam gelombang viral.

Media sosial memberi setiap orang panggung untuk bicara. Namun tidak semua panggung melahirkan ruang yang sehat.

4. Apa Pelajaran untuk Kita Semua?

Kasus ini seharusnya menjadi ruang refleksi, bukan pertikaian.

Bagi penyelenggara, ini momentum mengevaluasi menu, distribusi, serta transparansi pelaksanaan program. Kritik dari orang tua bisa menjadi pintu perbaikan.

Bagi orang tua, menyampaikan keluhan adalah hak, tetapi memilih cara yang lebih aman bagi anak dan lebih konstruktif bagi publik mungkin lebih bijak.

Bagi masyarakat, empati adalah kunci. Kita dapat mengkritik kebijakan, tetapi tetap menjaga batas etis dalam menilai seseorang.

Bagi pemerintah dan sekolah, komunikasi yang terbuka dapat mencegah kesalahpahaman. Orang tua berhak tahu bagaimana program MBG dijalankan dan apa yang menjadi standar menu.

Penutup: Mengembalikan Ruang Publik pada Kewarasan

Di era digital, sebuah video 20 detik bisa menimbulkan reaksi 20.000 komentar. Tapi di balik layar, semua tetap kembali pada manusia yang saling membutuhkan. Ibu yang peduli, guru yang bekerja, anak yang tak ingin dijadikan bahan perdebatan, dan masyarakat yang sebenarnya ingin layanan publik berjalan lebih baik.

Opini ini mengajak kita kembali kepada hal paling sederhana:

melihat manusia sebagai manusia, bukan sebagai bahan viral.

Karena pada akhirnya, yang dibutuhkan bukan saling menyalahkan, tetapi sama-sama belajar dan memperbaiki. (Uk)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *