OPINI, SUARAGURU.ID – Hari ini, kita merayakan kemerdekaan yang ke 80, perayaan dengan penuh suka cita dan dilakukan dengan cara yang berbeda-beda. Ada yang berdiri gagah di lapangan upacara, ada yang duduk di kursi undangan berbalut jas dan gaun, dan ada pula yang berteriak gembira di lorong sempit sambil berebut kursi plastik reyot.
Di kampung-kampung, hadiah lomba hanyalah buku tulis, ember, sabun, gula, atau mie instan. Namun tawa anak-anak yang bercampur tepung itu terasa lebih meriah dari pesta kembang api. Sementara di hotel berbintang, di lapangan upacara kota perayaan tampil megah dengan berbagai acara dan banjir hadiah mewah di balut musik dan goyangan artis, lampu sorot, dan meja penuh hidangan. Dua dunia yang berbeda, tapi sama-sama mengusung nama kemerdekaan.
Tetapi di balik tawa itu, ada wajah lain yang sering kita lupakan. Wajah kaum papa disudut kota atau di lereng desa yang tetap merdeka dalam hatinya, meski perutnya meraung resah. Anak-anak mereka menatap pilu, ingin bersekolah namun tak mampu membeli seragam atau buku, bahkan bendera merah putih lusuh yang sudah usang di halaman pondok mereka belum mampu diganti dengan yang baru.
Pertanyaannya: adakah ruang dalam kemerdekaan ini untuk mereka? Adakah sedekah dari pejabat yang berdiri di mimbar?, dari pengusaha yang meneguk kopi di hotel berbintang, dari kelas menengah yang pesta pora di komplek, untuk mereka yang tidur di lantai beralaskan tikar butut?
Kemerdekaan sejati seharusnya tidak hanya berhenti pada seremoni. Ia menuntut keadilan sosial, seperti yang digariskan Pancasila. Kemerdekaan sejati seharusnya membuat setiap anak bangsa bisa tersenyum tanpa takut lapar, bisa belajar tanpa terhalang biaya, bisa hidup dengan martabat yang setara.
Jika bangsa ini masih membiarkan kaum jelata berjuang sendirian, maka merdeka hanyalah slogan kosong.
Merdeka sejati adalah ketika kita mau berbagi, mau peduli, mau menyalurkan sedikit rezeki agar tidak ada lagi anak yang menangis ingin sekolah, tidak ada lagi perut yang keroncongan di hari kemerdekaan.
Sebab sejatinya, cinta tanah air bukan hanya berdiri tegak menyanyikan lagu kebangsaan, melainkan juga menunduk rendah menyeka air mata kaum papa. (Uk)