Darurat Literasi: Anak Bangsa di Ambang Kepergian “Budaya Baca”

Oleh : Ujang Kaidin

Opini63 Dilihat

SUARAGURU.ID – Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia semakin tenggelam dalam paradoks pendidikan: meski akses gadget dan internet makin merata, literasi siswa kemampuan membaca, menulis, dan berpikir kritis malah mengalami stagnasi bahkan kemunduran. Teknologi yang seharusnya menjadi pintu gerbang pengetahuan berubah menjadi jerat bila tidak diatur dan diarahkan dengan bijak.

Data: Fakta Tak Terbantahkan

PISA 2022 menunjukkan bahwa skor literasi membaca siswa Indonesia mencapai 359 poin. (Databoks)

Indonesia berada di peringkat 70 dari 80 negara untuk literasi membaca. (Detik.com)

Jika dibandingkan dengan PISA 2018, peringkat literasi membaca kita naik sekitar 5 posisi, namun skornya justru turun dari 371 (2018) menjadi 359 (2022). (Goodstats)

Data tingkat kegemaran membaca (TGM) berdasarkan laporan  Nasional: Provinsi DI Yogyakarta memimpin dengan 73,27 poin, sedangkan provinsi dengan skor terendah adalah Papua dengan 60,58 poin. (Detik.com)

Data-data tersebut seharusnya menjadi alarm keras: meski peringkat sedikit membaik, kualitas dan kedalaman literasi justru menurun.

Gadget: Pencipta Kenikmatan Cepat Tapi Mematikan Kesabaran Membaca

Gadget—smartphone, tablet, dan aplikasi media sosial—memberikan hiburan instan yang sangat memikat. Anak-anak dan remaja lebih cepat puas dengan konten video pendek, meme, reels, TikTok, dibanding membaca teks panjang atau buku. Algoritme media sosial yang memperkuat kecenderungan terhadap sesuatu yang ringan dan cepat membuat minat membaca teks berat (literatur, artikel ilmiah, karya klasik) semakin kecil.

Akibatnya:

Waktu membaca berkurang drastis; yang dibaca pun tak lagi yang menantang atau mendalam.

Konsentrasi terhadap bacaan panjang melemah: siswa cepat bosan jika terbentur paragraf demi paragraf yang membutuhkan daya imajinasi dan analisis.

Kemampuan menulis, terutama dalam hal argumentasi, struktur logika, dan kosa kata mendalam, pun kehilangan asupan. Tulisan siswa cenderung datar, sederhana, atau hanya mengulang informasi dangkal yang didapat dari media instan.

Anak-anak tumbuh sebagai konsumen pasif informasi, kurang mampu memilah mana berita yang valid, mana hoaks atau opini yang disamarkan.

Kritik Terhadap Kebijakan dan Praktik Pendidikan

Penggunaan teknologi dalam pendidikan seringkali dipuji sebagai solusi modern. Namun, tanpa arahan dan regulasi yang jelas, gadget menjadi sumber distraksi lebih dari alat bantu. Beberapa sekolah membiarkan akses internet dan gadget tanpa pengawasan konten atau batasan waktu. Di sisi keluarga, orang tua sering memberikan gadget sebagai “hadiah” atau pelipur lara, tanpa mendampingi anak dalam memilih konten yang mendidik.

Selain itu, kurikulum literasi di banyak sekolah masih kurang menekankan pada pembelajaran membaca dan menulis yang mendalam. Evaluasi prestasi siswa sering berfokus pada angka dan hasil ujian instan; kreativitas, analisis kritis, dan apresiasi budaya bacaan kurang diberi ruang.

Apa yang Harus Dilakukan Sekarang?

1. Regulasi Penggunaan Gadget di Sekolah

Pemerintah dan Dinas Pendidikan wajib menetapkan kebijakan jelas: kapan, bagaimana, dan konten apa yang boleh diakses gadget di lingkungan sekolah.

2. Literasi Digital dan Literasi Tradisional Beriringan

Sekolah harus menyediakan waktu khusus membaca teks panjang dan karya tulis klasik atau ilmiah—tidak hanya membaca singkat di media sosial atau modul digital.

3. Peningkatan Kapasitas Guru dan Kurikulum

Guru perlu dilatih dalam metode pembelajaran literasi kritis. Kurikulum perlu memasukkan tugas membaca mendalam dan penulisan argumentatif sebagai bagian wajib.

4. Keterlibatan Orang Tua dan Komunitas

Peran orang tua tidak boleh pasif: mendampingi anak, menyediakan buku fisik atau digital berkualitas, membatasi waktu gadget, mendorong diskusi atas bacaan, bukan sekadar hiburan.

5. Penguatan Fasilitas Fisik

Pustaka umum, pojok baca sekolah, perpustakaan digital yang berkualitas harus dihadirkan, terutama di daerah terpencil atau dengan akses pendidikan yang masih terbatas.

Kesimpulan: Teguran Untuk Generasi Mendatang

Angka peringkat PISA dan TGM sudah menunjukkan bahwa Indonesia berada jauh di belakang banyak negara. Jika kita terus mengabaikan dampak gadget yang tidak diimbangi literasi yang kuat, kita akan melahirkan generasi yang “melek huruf” tetapi buta kritik, yang mampu membaca tapi tidak mampu memahami secara mendalam, mampu menikmati hiburan tapi tidak mudah tersulut ide besar.

Gadget boleh dipakai, tapi jangan sampai budaya baca kita terkubur dalam jeruji notifikasi dan popularitas instan. Membaca bukan sekadar hobi; ia adalah fondasi demokrasi, kreativitas, dan kemajuan bangsa. (Uk)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *