Oleh: Jose Da Conceicao Verdial,M.Pd.
Dosen PBSI Universitas Timor, Kefamenanu
Hari Pendidikan Nasional (HPN) yang diperingati setiap 2 Mei bukan hanya menjadi ajang seremoni, tetapi juga momen penting untuk melakukan refleksi kritis terhadap kondisi pendidikan nasional.
Tema besar seperti merdeka belajar, digitalisasi pendidikan, hingga transformasi kurikulum sering kali didengungkan.
Namun, di balik retorika optimistik itu, realitas pendidikan Indonesia masih berhadapan dengan problematika struktural dan moral yang serius.
Penulis melihat bahwa Hari Pendidikan Nasional berada di antara dialektika idealisme pendidikan dan kenyataan di lapangan, serta bagaimana rapuhnya etika dalam penyelenggaraan pendidikan menjadi tantangan yang tak kalah besar.
Sehingga menurut penulis HPN bukan sekadar seremoni tahunan yang dihiasi pidato-pidato normatif dan upacara simbolis.
Seharusnya HPN merupakan momen reflektif—cermin besar yang menampakkan wajah pendidikan kita yang sebenarnya, lengkap dengan segala luka, paradoks, dan potensi yang tersisa.
Di tengah gegap gempita seruan “merdeka belajar” dan transformasi digital, pendidikan di Indonesia masih berjalan terseok di antara dialektika idealisme dan kenyataan.
Sementara etika yang menopang fondasi moral pendidikan semakin goyah—jika tidak ingin disebut rapuh.
Dialektika dalam konteks pendidikan hari ini adalah ketegangan terus-menerus antara wacana dan kenyataan.
Di satu sisi, kita memiliki visi besar: pendidikan yang inklusif, transformatif, dan membebaskan.
Namun di sisi lain, realitas yang terjadi masih timpang: akses yang tidak merata, fasilitas yang minim di daerah terluar, hingga beban administratif yang mengekang kreativitas guru.
Alih-alih menjadi ruang pembebasan, sekolah terkadang berubah menjadi institusi penyeragaman yang kaku.
Ironi ini mencerminkan ketidaksesuaian antara narasi besar dan implementasi nyata —sebuah retakan dalam dialektika pendidikan yang tak kunjung dijembatani.
Dialektika: Antara Idealisme dan Kenyataan
Dialektika dalam pendidikan mencerminkan pertentangan antara visi besar dan realitas yang membatasi.
Di atas kertas, pendidikan di Indonesia dirancang untuk membentuk manusia seutuhnya, sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Namun, pelaksanaan di lapangan sering kali tidak sejalan dengan idealisme tersebut.
Berbagai studi menunjukkan masih adanya ketimpangan akses dan kualitas pendidikan, terutama di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) (UNICEF, 2022).
Ketimpangan ini menunjukkan bahwa narasi “merdeka belajar” belum benar-benar menyentuh semua lapisan masyarakat.
Kurikulum yang fleksibel belum menjamin keadilan dalam sumber daya pendidikan yang diperlukan untuk menerapkannya.
Etika yang Rapuh: Realitas Moral dalam Dunia Pendidikan
Etika menjadi fondasi yang tak kalah penting dalam penyelenggaraan pendidikan.
Sayangnya, etika ini semakin rapuh. Kita melihat kasus-kasus kecurangan dalam ujian, manipulasi data penerimaan siswa, kekerasan di sekolah, hingga korupsi dana pendidikan.
Kejadian tersebut mencerminkan bagaimana nilai-nilai pendidikan yang luhur—seperti kejujuran, tanggung jawab, dan keadilan—semakin tergerus oleh kepentingan praktis dan struktural.
Merujuk pada pendapat Tilaar (2004), pendidikan seharusnya menjadi alat pembebasan manusia dari ketidakadilan sosial dan keterbelakangan budaya.
Namun, ketika etika tidak dijunjung tinggi oleh para aktor pendidikan (guru, kepala sekolah, pejabat pendidikan, hingga orang tua), maka pendidikan justru dapat menjadi alat reproduksi ketimpangan dan kepalsuan.
Generasi dalam Tekanan: Hasil Sistem yang Tidak Manusiawi
Sistem pendidikan yang terlalu berorientasi pada capaian akademik dan peringkat menciptakan tekanan psikis yang tinggi pada peserta didik.
Generasi muda tumbuh dalam iklim kompetisi yang tidak sehat, di mana nilai dan ranking lebih diprioritaskan ketimbang proses belajar yang bermakna.
Dalam jangka panjang, hal ini dapat menciptakan individu-individu yang unggul secara kognitif, tetapi kering secara afektif dan etis.
Rekonstruksi Kesadaran dan Komitmen Etik
HPN semestinya tidak hanya menjadi pengingat akan sejarah perjuangan Ki Hajar Dewantara, tetapi juga sebagai pemantik untuk membangun ulang pendidikan dengan kesadaran dialektis dan etis.
Reformasi pendidikan tidak cukup hanya pada tataran kebijakan dan struktur, tetapi juga membutuhkan reformasi kesadaran: bahwa pendidikan adalah proses pembentukan manusia, bukan sekadar produksi tenaga kerja atau angka statistik.
Negara, pendidik, dan masyarakat harus bersatu dalam menegakkan kembali etika dalam pendidikan.
Pendidikan yang bermartabat hanya bisa terwujud bila etika ditegakkan, dan dialektika antara idealisme dan realitas dijembatani oleh keberanian untuk berubah secara nyata. (*)
Artikel ini telah tayang di Pos-Kupang.com dengan judul Opini: Hari Pendidikan Nasional di Antara Dialektika dan Etika Rapuh, https://kupang.tribunnews.com/2025/05/01/opini-hari-pendidikan-nasional-di-antara-dialektika-dan-etika-rapuh?page=all#goog_rewarded.