Ketika Ikhlas Murid Dianggap “Gratifikasi”, dan Guru Kembali Menelan Luka Sunyi

Opini, PGRI598 Dilihat

OPINI,SUARAGURU – Belum tiba tanggal 25 November, belum terbit ucapan selamat Hari Guru di beranda sekolah, bahkan belum sempat para murid merapikan kertas lipatan berisi pesan kecil penuh cinta , tetapi sebuah pesan berantai sudah beredar di media sosial. Sebuah peringatan formal, kaku, dan dingin: Guru dilarang menerima hadiah apa pun. Sekolah dilarang melakukan iuran apa pun. Semua bentuk pemberian dianggap gratifikasi.

Di titik inilah banyak guru terdiam. Bagaimana mungkin sebuah kado kecil ataupun buket yang diberikan murid dengan tangan bergetar, kado yang dibeli dari uang jajan sederhana, atau sekadar origami penuh warna bisa disandingkan dengan praktik gratifikasi yang selama ini dilakukan oleh para pejabat, para oknum aparat hukum, para oknum LSM yang lihai memeras dengan ancaman, atau mereka yang sudah kenyang dengan fasilitas negara?

Ironisnya, di luar sana ada ruang-ruang istimewa di mana bingkisan mewah dianggap tradisi, bukan masalah. Ada meja-meja megah tempat “hadiah” mengalir seperti air, dianggap lumrah, dianggap budaya. Tapi guru manusia yang setiap hari memeras tenaga, menahan sabar, menjaga anak-anak bangsa dengan seluruh kesetiaan bahkan untuk menerima sekotak kecil cokelat dari murid pun harus merasa bersalah, was-was, atau dituduh macam-macam.

Miris? Tentu saja. Menyakitkan? Lebih dari itu.

Sebuah Peringatan yang Mengiris Sunyi Guru

Isi pesan singkat yang beredar itu jelas, tegas, dan formal:

1. Sekolah dilarang memungut iuran apa pun untuk perayaan Hari Guru.

2. Guru dan tenaga kependidikan dilarang menerima hadiah apa pun dari murid dan orang tua.

3. Peringatan Hari Guru cukup diwujudkan dengan ucapan atau kegiatan sederhana tanpa biaya, tanpa kado, tanpa bingkisan.

Secara administratif, imbauan ini tentu dapat dipahami: negara ingin menjaga integritas, mencegah pungutan liar, dan menghindari tekanan sosial terhadap orang tua. Itu tujuan yang baik. Tak ada guru yang menginginkan muridnya merasa terbebani.

Tetapi masalah bukan pada aturannya. Masalahnya adalah cara aturan itu dipahami, diberlakukan, dan seringkali dibaca dengan curiga.

Di balik huruf-huruf dingin itu, seakan tersirat pesan lain:

“Guru adalah pihak yang berpotensi menerima gratifikasi.”

“Guru harus diawasi agar tidak memanfaatkan momen ini.”

Dan di sinilah luka itu terasa.

Guru bukan pejabat negara yang punya akses pada anggaran triliunan. Guru bukan aparat hukum yang bisa menekan masyarakat demi keuntungan pribadi. Guru bukan oknum yang bisa meminta “uang rokok” dengan ancaman laporan. Guru tidak punya kekuasaan untuk memeras siapa pun.

Yang mereka punya hanyalah hati, kesabaran, dan rasa cinta pada murid-muridnya.

Ketika Bingkisan Murid Dianggap Ancaman

Dalam diam, banyak guru membaca kembali pesan singkat yang melengkapi peringatan itu yang tentunya mengiris hati :

Teruntuk muridku di hari guru

Kalian tidak perlu iuran

Kalian tidak perlu sibuk mendekor

Kalian tidak perlu beli kue

Kalian tidak perlu memberi kejutan

Kalian tidak perlu beli tumpeng

Bukan kami tidak mau menerima

Bukan kami tidak mau berbahagia bersama kalian hari ini

Ada buruk sangka yang kami takuti

Ada dugaan buruk yang kami hindari

Maafkan kami gurumu

Belum menjadi sempurna

Ketika mendidikmu

Betapa lirih suara ini. Betapa sedihnya seorang guru menyampaikan cinta dalam bentuk permohonan maaf.

Padahal, murid memberi hadiah bukan karena diminta.

Bukan karena dipaksa.

Bukan karena tekanan.

Mereka memberi karena sayang karena cinta yang lahir dari ruang belajar, ruang bimbingan, ruang kesabaran yang tak pernah tercatat dalam laporan sekolah.

Tetapi sekarang, cinta itu pun dipagari kecurigaan.

Mengapa Guru Selalu Jadi Pihak yang Dicurigai?

Kita hidup di era ketika:

Guru bisa dipolisikan hanya karena menegur murid.

Guru bisa dipermalukan hanya karena memberi hukuman mendidik.

Guru bisa dipojokkan hanya karena salah ucap atau salah menyentuh buku daftar nilai.

Dan kini, guru kembali menjadi sasaran imbauan kecurigaan: jangan menerima apa pun dari murid, sebab itu bisa dianggap gratifikasi.

Sementara di tempat lain:

* amplop rutin diterima pejabat,

* bingkisan mewah menjadi kebiasaan,

* “oleh-oleh proyek” dianggap budaya,

” fasilitas tambahan diperlakukan sebagai hak, bukan pelanggaran.

Betapa tidak seimbang.

Guru hanya ingin memberikan hati.

Guru hanya ingin merasa dihargai.

Guru hanya ingin menikmati momen sederhana setahun sekali.

Tetapi momen itu pun kini dibekap aturan, kecurigaan, serta stigma.

Saatnya Kita Memahami Esensi Sebenarnya

Hari Guru bukan soal pesta.

Bukan soal tumpeng.

Bukan soal kado cokelat.

Tapi juga bukan tentang rasa curiga yang membelenggu.

Hari Guru adalah tentang rasa hormat, pengakuan, dan penghargaan yang tidak selalu harus dibarengi uang, tetapi juga tidak boleh dicurigai ketika lahir dari ketulusan.

Tidak ada salahnya memberi bunga.

Tidak ada salahnya memberi surat kecil.

Tidak ada salahnya memberi pita mungil yang dibeli dari toko dekat sekolah.

Yang salah adalah ketika sebuah ketulusan dianggap kejahatan.

Yang keliru adalah ketika cinta harus dilabeli gratifikasi.

Guru tidak meminta hadiah.

Guru tidak meminta kejutan.

Guru tidak meminta apa pun.

Tetapi biarkanlah ketulusan murid tetap bernilai sebagai ketulusan.

Biarkanlah cinta tetap menjadi cinta tanpa rasa takut, tanpa kecurigaan, tanpa stigma.

Menutup Luka dengan Pesan Lembut

Hari Guru besok akan  tiba.

Tetapi luka guru sudah lebih dulu hadir.

Namun, di balik semua itu, guru tetap guru: tetap sabar, tetap mengajar, tetap mencintai muridnya.

Karena bagi guru sejati, hadiah terbaik bukanlah bingkisan.

Hadiah terbaik adalah murid yang tumbuh dewasa dengan budi pekerti dan kemuliaan hati.

Dan untuk murid-murid di luar sana, pesan guru ini tetap abadi:

* Maafkan kami gurumu

Belum menjadi sempurna

Ketika mendidikmu

Tetapi percayalah dengan segala keterbatasan dan segala luka,

guru selalu berusaha memberikan yang terbaik. (Uk)

Foto : Ilustrasi AI

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *