Ketika Pernyataan Pejabat Berbenturan dengan Marwah PGRI

Nasional, PGRI168 Dilihat

KENDARI, SUARAGURU.ID – Pernyataan Kepala Dinas Pendidikan Kota Kendari yang sekaligus menjabat sebagai Ketua PGRI Kendari, Saemina, memantik gelombang kegelisahan di kalangan pendidik. Hal itu terjadi setelah ia menegaskan bahwa PGRI tidak terlibat dalam proses hukum yang menimpa Mansur (53), seorang guru SD yang telah divonis 5 tahun penjara atas dugaan pelecehan murid.

“Kami menyerahkan sepenuhnya pada ranah hukum. Prosesnya sudah berjalan dan tidak mungkin kami mengintervensi,” ujarnya kepada media, Selasa (9/12/2025). Ia menambahkan bahwa PGRI hanya menunjukkan kepedulian sebagai sesama guru, tanpa masuk dalam ranah pembelaan atau pendampingan hukum.

Namun pernyataan tersebut justru memunculkan kritik tajam dari berbagai kalangan guru. Pasalnya, apa yang disampaikan tidak sejalan dengan mandat organisasi sebagaimana tertuang dalam AD/ART PGRI.

PGRI, sebagai organisasi profesi terbesar guru di Indonesia, memiliki kewajiban fundamental:

melindungi, mendampingi, membina, dan memberikan bantuan hukum kepada anggotanya yang sedang menghadapi masalah, tentu tanpa menghalangi proses penegakan hukum.

Dalam AD/ART PGRI, kewajiban pengurus jelas:

* Memberikan perlindungan dan advokasi profesi kepada guru.

* Memberikan bantuan hukum bagi anggota yang membutuhkan.

* Menegakkan dan mengawal Kode Etik Guru Indonesia.

* Melindungi profesi guru dari berbagai ancaman, termasuk ketika mereka menghadapi proses hukum, tanpa mengintervensi substansi perkara.

Karena itu, yang dipersoalkan banyak guru bukanlah soal intervensi terhadap proses hukum , karena tidak ada yang menuntut itu , tetapi absennya pendampingan, pembelaan prosedural, dan perlindungan organisasi sebagaimana dijanjikan AD/ART.

Dalam konteks kasus Mansur, publik guru menilai PGRI seharusnya hadir sebagai pendamping: memastikan proses hukum berjalan adil, memastikan guru tidak sendirian menghadapi tekanan psikologis dan sosial, serta mengawal bahwa setiap guru mendapatkan hak-hak hukumnya, apakah ia bersalah atau tidak.

Bukan membela kesalahan, tetapi membela hak anggota.

Di sinilah kekecewaan itu menguat.

Ketika seorang Ketua PGRI menyatakan bahwa organisasi “tidak ikut masuk ke ranah hukum”, pesan yang sampai ke telinga anggota adalah: guru yang menghadapi masalah dibiarkan berjalan sendiri.

Padahal, AD/ART PGRI menegaskan bahwa organisasi justru harus masuk pada ranah pendampingan hukum , bukan untuk mempengaruhi vonis, melainkan memastikan proses berjalan objektif dan menghargai martabat manusia.

Dalam banyak kasus di berbagai daerah, PGRI sering datang memberi pendampingan hukum, bantuan psikologis, dan pembelaan moral, meski tidak pernah mengintervensi jalannya perkara. Itu yang disebut perlindungan profesi. Itu pula yang membedakan PGRI dari organisasi birokratis lain.

Kini pertanyaannya sederhana namun menohok:

Jika organisasi profesi guru tidak lagi berada di sisi anggotanya saat mereka paling membutuhkan, untuk siapa sebenarnya PGRI berdiri?

Kekhawatiran banyak guru muncul bukan karena kasus Mansur semata, melainkan karena preseden: jika seorang Ketua PGRI sendirian menyatakan bahwa organisasi tidak ikut dalam pendampingan hukum, maka apa arti iuran anggota yang selama ini dibayarkan setiap bulan?

Guru-guru berharap pernyataan itu direvisi, diperjelas, atau diluruskan. Karena PGRI bukan sekadar simbol, bukan sekadar baju seragam, melainkan rumah perlindungan profesi yang lahir dari sejarah panjang perjuangan guru Indonesia.

Di tengah arus deras kasus, tuduhan, dan tekanan publik, guru membutuhkan organisasi yang hadir  bukan mundur.

PGRI harus ingat, tugas utamanya adalah memastikan guru profesional, sejahtera, dan bermartabat.

Meninggalkan guru yang sedang berproses hukum tanpa pendampingan, bagaimana pun juga, bukan bagian dari martabat itu. (UK)

Sumber : Fb Yayuk kartika sari, DetikSultra

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *