Gagal ke Piala Dunia, Tapi Kita Tetap Bangga Dengan Perjuangan Tim Nasional Indonesia

Oleh : Ujang Kaidin (Fans berat timnas Indonesia)

Nasional, Olahraga, Opini1118 Dilihat

SUARAGURU.ID – Di bawah langit Jeddah yang menyala oleh sorak suporter, peluit panjang itu berbunyi  bukan hanya menandai akhir laga, tapi juga menutup lembar perjalanan panjang penuh darah, keringat, dan air mata Tim Nasional Indonesia di kualifikasi Piala Dunia 2026. Skor akhir 2–3 melawan Arab Saudi, disusul kekalahan tipis 0–1 dari Irak, mungkin membuat langkah Garuda terhenti. Namun di balik papan skor itu, ada cerita kebanggaan yang jauh lebih besar.

Bangsa ini mungkin tidak terbang ke Amerika, Kanada, dan Meksiko. Tapi hati 280 juta rakyat Indonesia telah ikut terbang bersama perjuangan para pahlawan lapangan hijau itu.

Marten Paes: Tembok Terakhir yang Tangguh

Berapa kali ia harus terbang menyelamatkan bola, menepis tendangan deras dari para penyerang Arab dan Irak? Marten Paes berdiri tegak di bawah mistar, seperti benteng yang tak pernah lelah. Tangannya seolah magnet, tubuhnya adalah perisai terakhir yang menjaga kehormatan merah putih. Tatapan matanya dingin, tapi di dalamnya ada bara keyakinan  bahwa selama peluit belum berbunyi, Indonesia belum kalah.

Dan meski Emil Audero  penjaga gawang nomor satu yang selama ini jadi andalan  harus absen karena cedera, semangatnya tetap terasa. Emil hadir dalam doa dan dukungan dari jauh, memberi kekuatan batin bagi rekan-rekannya.

Di bangku cadangan, dua kiper lain, Nadeo dan Ernando Ari, tetap berdiri tegak. Tak ada rasa kecil hati. Mereka tahu, dalam sepak bola, setiap peran penting  baik di lapangan maupun di balik garis putih. Ketiganya adalah cermin keteguhan: siap, kuat, dan setia pada bendera.

Jay Idzes: Kapten Berwibawa yang Memimpin dengan Hati

Di tengah panasnya laga, saat suara penonton membelah udara, Jay Idzes berdiri tegak. Kapten berwajah dingin namun berhati lembut itu tak pernah berhenti memberi instruksi, menepuk bahu rekan, dan memompa semangat. Ia bukan hanya memimpin dengan ban kapten di lengannya, tapi dengan ketulusan dan ketegasan yang menular ke seluruh skuad.

Di sisinya, ada tembok pertahanan yang kokoh: Rizki Ridho yang tenang seperti karang, Verdonk si pendiam tapi perkasa yang jarang tersenyum namun selalu berani duel, dan sangar Hubner yang menjelma jadi raksasa raksasa kokoh tanpa kompromi. Mereka bertiga bukan sekadar bek  mereka adalah tembok hidup yang menjaga setiap jengkal harga diri bangsa.

Tom Haye dan Joe Palupessy: Penguasa Tengah yang Tak Kenal Lelah

Di lini tengah, Tom Haye seperti dirigen yang menata orkestra. Ia mengatur tempo, mengendalikan arah permainan, dan memberi napas bagi tim. Di sisinya, Joe Palupessy menjadi penyeimbang — sosok pekerja keras yang tak kenal lelah menutup ruang, menekan lawan, dan mengamankan bola. Keduanya adalah otak dan jantung permainan, dua sosok yang membuat Indonesia mampu menatap lawan-lawan raksasa Asia dengan kepala tegak.

Dari Papua Hingga Eropa, Garuda Terbang Bersama

Dari timur, datang si Papua lincah, Ricky Kambuaya. Gerakannya memancing decak kagum  cepat, berani, dan selalu penuh kejutan. Dari sisi lain, ada Sayuri bersaudara Yakob dan Yance yang berlari seperti angin, tak kenal lelah menembus pertahanan lawan.

Lihat pula pemuda Jonathan yang cepat seperti kilat, dan si imut Eliano yang tak gentar menghadapi tubuh-tubuh besar bek lawan. Ada juga “Beckham-nya Indonesia” Beckham Putra Nugraha  yang memainkan bola seolah menulis puisi di rumput hijau.

Dan siapa yang bisa melupakan Romeny? Si “Bule Merah Putih” yang ditakuti bek lawan, dengan kecepatan dan insting gol yang tajam. Sementara “Wak Haji” Ragnar Oratmangoen, sang penyerang lincah, selalu menghadirkan ancaman dengan gocekan dan kelincahannya.

Nathan Joe  si tampan yang menawan penonton dan petarung di lini tengah menaklukkan lawan menjadi wajah masa depan sepak bola Indonesia. Dean James yang ngotot di setiap duel, serta Kevin Diks sang algojo yang disiplin dan kuat, memperlihatkan bagaimana generasi diaspora ini menjelma jadi satu kesatuan jiwa merah putih.

Dan jangan lupa “Marceng” — Marcelino Ferdinan, si bocah ajaib penakluk Arab Saudi di GBK. Tendangannya yang menusuk jantung lawan menjadi simbol keberanian anak muda Indonesia: tak gentar menghadapi siapa pun, di mana pun.

Kita Tak Kalah,  Kita Tumbuh

Ya, kita tidak lolos. Tapi bukankah dulu kita hanya bermimpi untuk sampai sejauh ini? Kini mimpi itu sudah kita injak. Dari negeri yang dulu sering jadi bulan-bulanan, kini Indonesia berdiri sejajar dengan raksasa-raksasa Asia. Kita kalah dalam angka, tapi menang dalam harga diri.

Kita melihat tim yang tidak lagi takut, tidak lagi minder, tidak lagi bermain untuk sekadar bertahan. Kita melihat tim yang menyerang, menekan, dan percaya bahwa bendera merah putih pantas berkibar tinggi di antara bangsa-bangsa besar.

Kita berutang terima kasih  kepada para pemain, pelatih, dan seluruh rakyat yang percaya. Mereka telah memberi kita sesuatu yang lebih berharga dari sekadar tiket ke Piala Dunia: harapan dan kebanggaan.

Suatu hari nanti, Garuda akan kembali terbang. Lebih kuat, lebih dewasa, dan lebih siap menembus langit dunia. Dan ketika hari itu tiba, kita akan mengenang tahun 2025 ini sebagai awal kebangkitan besar sepak bola Indonesia.

Karena untuk bangsa seperti kita, kegagalan bukanlah titik akhir,  itu hanyalah jeda sebelum terbang lebih tinggi.

Terima kasih, Timnas. Kalian sudah mengajarkan kami arti sesungguhnya dari kata “berjuang.” ❤️🇮🇩

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *