Gaji Guru dan Dosen Masuk dalam Pemabahasan Sri Mulyani: Sebuah Kabar Bahagia Apakah sebuah Tantangan Terbaru?

Kemenkeu Sri Mulyani Resmi Bahas Gaji Guru dan Dosen: Kabar Bahagia atau Tantangan Terbaru?

Nasional209 Dilihat

SUARAGURU.ID – Judul itu menyentak akar terpanggil, hati bergetar. Sejenak, bayangkan suasana di aula Institut Teknologi Bandung (ITB), Kamis, 7 Agustus 2025. Para hadirin, dari akademisi hingga mahasiswa, terdiam ketika Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, dengan tenang namun tegas, membuka suara soal sorotan tajam masyarakat terhadap gaji guru dan dosen yang dirasa terlalu kecil. “Banyak di media sosial saya selalu mengatakan, menjadi dosen atau menjadi guru tidak dihargai karena gajinya nggak besar,” ujarnya, menunggu reaksi yang mungkin membuncah di benak semua orang yang hadir.Sebuah momen yang menyiratkan kalbu bangsa: seberapa jauh penghargaan finansial kita kepada para pendidik sejati ini? Ia membuka pintu diskusi: “Apakah semuanya harus keuangan negara ataukah ada partisipasi dari masyarakat?”

Bayangkan, hati para guru dan dosen bergemuruh—mereka yang setiap hari berdiri di depan kelas, membentuk masa depan bangsa. Apakah selama ini beban penghargaan hanya dibebankan pada negara? Atau kita bisa bersama-sama merangkai solusi baru? Pertanyaan itu bagai gema keberanian, menembus angin harapan dan syahdu harap. Dalam konteks itu, pemerintah telah menyalurkan anggaran pendidikan 2025 sebesar Rp 724,3 triliun, atau sekitar 20 % dari APBN, sesuai amanat konstitusi.

Anggaran ini bukan sekadar angka, tapi sayap bagi generasi merdeka melalui KIP Kuliah (1,1 juta penerima), PIP (20,4 juta siswa), BOS (9,1 juta siswa), BOPTN (197 PTN), beasiswa LPDP, digitalisasi, TPG non-PNS (477,7 ribu guru), sertifikasi (666,9 ribu), rehabilitasi 22 ribu sekolah, serta program Makan Bergizi Gratis (MBG). Namun, di balik besarnya nominal itu, ada pertanyaan tersimpan: ketika seluruh beban kesejahteraan guru dan dosen tertumpu pada anggaran negara, apakah sistem itu adil? Apakah kita sudah benar-benar memberi penghargaan yang sepadan dengan pengabdian mereka?

Sri Mulyani menjabarkan anggaran dalam tiga klaster:

  • Klaster pertama: untuk murid dan mahasiswa—investasi masa depan.
  • Klaster kedua: untuk guru dan dosen—meliputi gaji dan tunjangan kinerja.
  • Klaster ketiga: sarana dan prasarana—pondasi pembelajaran.

Saat itu, aula membuncah dengan keheningan penuh arti. Mungkin terngiang pertanyaan dalam hati: “Kapan negara benar-benar memberi penghargaan yang adil? Atau apakah ini ajakan untuk kita, masyarakat, melangkah lebih bersama-sama?” Sri Mulyani menekankan bahwa peningkatan kesejahteraan pendidik tak bisa hanya soal seberapa besar dana, melainkan juga sistem insentif adil dan berbasis kinerja. Sebuah tantangan desain keadilan: Reward berdasarkan prestasi, bukan hanya pembagian merata?

Di luar aula, jutaan guru dan dosen membuka ponsel, membaca kabar: “Menkeu soroti gaji guru dan dosen yang masih rendah, pertanyakan peran negara vs masyarakat”. Reaksi beragamlahir, dari harapan hingga cemas: apakah ini pertanda awal perubahan besar, atau sekadar tragedi pengakuan? Air mata haru mungkin menetes saat sang guru membaca berita ini di bilik guru warna-warni harapan dan duka bercampur.

Sebuah pengakuan resmi adanya tantangan besar, tanpa rasa keliru. Kini, kabar bahagia itu juga membawa tanggung jawab bersama. Lewat kabar ini, narasi kita bisa berubah. Bukan lagi sekadar soal gaji kecil, melainkan soal desain sistem penghargaan dan insentif yang adil, kolaboratif, dan berbasis prestasi. Redaksi masa depan adalah saat kita mengejar equity dan excellence, bersamaan.Dan narasi ini akan terus bergulir ketika dialog terus dibangun antara negara, pendidik, dan masyarakat. Ketika sistem insentif ditegakkan, ketika partisipasi publik nyata, ketika gaji bukan lagi sirna dalam rasa tidak dihargai.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *